Tuesday, 24 May 2016

RANGKUMAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA BAB 1 S/D 10 : Dr. ANDI HAMZAH, S.H

BAB I
PENDAHULUAN


  1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana materiel yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu. Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana formil atau hukum acara pidana bersifat nyata dan konkrit.Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak,atau dijalankan atau berada dalam suatu proses.Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.
Van Bemmelen merumuskan sebagai berikut:

Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara,karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.

            Nyatalah bahwa hukum pidana (Materiel) sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata”karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
            Moeljatno, seorang ahli sarjana hukum pidana Indonesia bahwa hukum pidana Formil adalah hukumpidana sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1.      Mentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilarang atau di lakukan dengan tidak di sertai larangan atau sanksi bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.      Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa pada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana.
3.      Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

  1. Tempat dan Sifat Hukum Pidana
Adagium bahasa jerman,”Wo Kein Klager Ist,Ist Kein Richter,adalah jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim. Munculah pengertian Hukum publik termasuk hukum pidana yang utama ialah kepentingan umum, bukanlah orang yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum tetapi negara melalui alat-alatnyya.yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana atau tindakan. Hukum pidana Formil (Hukum acara pidana) corak hukum publiknya lebih nyata lagi dari pada hukum pidana materil karena yang bertindak menyidik dan menuntut adalah alat negara seperit Polisi atau jaksa jika terjadi pelanggaran hukum pidana.
Menrut Mackay tentang Asas Pokok pidana adalah : yang dapat dipidana hanya pertama, orang yang melanggar hukum, ini adalah syarat mutlak (Condotio sine quanon), kedua bahwa perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana yang berupa Ultimum remedium setiap orang yang berpikir sehat akan dapat mengerti hal tersebut tidak berarti bahwa ancaman pidana tidak diadakan dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan terlalu jahat dari pada penyakit

  1. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum pidana dapat dibagi atas hukum pidana di kodefikasikan dan yang tidak di kodefikasikan, artinya yang dimuat dalam kitab Undang-undang, sedangkan yang tidak dikodefikasikan, yaitu yang tersebar diluar kodifikasikan dalam perundang-undangan
Tersendiri.


BAB II
SEJARAH SINGKAT
HUKUM PIDANA DI INDONESIA


A.    Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh VOC. Pada tahun 1848 dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
  1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari 1867. kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asing.
  2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl.1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 januari 1873.

B.     Zaman Hindia Belanda
Setelah berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaanya dengan Code Penal Perancis, perlu diganti dan disesuaiakan dengan KUHP baru belanda tersebut. Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische Staatsgeling. Maka KUHP di negeri belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda harus dengan penyusaian pada situasi dan kondisi setempat. Semula di rencanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru. Dengan Koninklijik Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732 lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh golongann penduduk. Dengan Invoringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.

C.    Zaman Pendudukan Jepang
Dibandingkan dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 sepetember 1942.

D.    Zaman Kermedekaan
Ditentukandi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 terse3but bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan perbagai perubahan dan penambahan yang diseuakan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).


BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA

A.    Pengertian
Istilah Hukuman Pidana dalam bahasa Belanda sering disebut yaitu Straf. Hukuman adalah istilah umumuntuk segala macam sanksi baik perdata, adminstratif, disiplin dan pidana.
Sedangkan dalam arti sempit pidana diartikan sebagai Hukum pidana.

B.     Tujuan Pidana
Dalam Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang  tujuan penjatuhan pidana, yaitu:
1.      Mencegah dilakukannya tindak pidana menegakan norma hukum demi pengayoman masyrakat.
2.      Mengadakan koerksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3.      Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Pasal 5).

Dalam literatur bahasa inggris tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a)      Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyrakat.
b)      Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat, dengan tersingkirnya pelanggaran hukum dari masyrakat berarti masyrakat itu akan menjadi lebih aman.
c)      Restribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.
d)     Deterrence, adalah menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.


 
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

A.    ASAS LEGALITAS
Asas ini tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin: ”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali” yang artinya. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentua pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:

1)      Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum didalam undang-undang.
2)      Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum didalam pasal 1ayat 2 KUHP.

B.     Penerapan Anologi
Utrecht menarik garis pemisah antara imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi sebagai berikut:

I.       Interfrestasi         :     Menjalankan undang-undangan setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
      Anologi                :     Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undanag.
II.    Interfrestasi         :     Menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
      Anologi                :     Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.

C.    Hukum Transitoir  (Peralihan)
Yang menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan perundang-undangan yang mana apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah ketentuan hukum yang lain, masih dipermasalahkan oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut Memorie van Toelichting (Memori penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum material yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.

D.    Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang Tempat dan Orang

I.       Asas Teritorialitas atau Wilayah
      Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : “peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam nilai Indonesia melakukan delik (straftbaar feit) disini berarti bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya straftbaar feit terjadi di wilayah Indonesia


 
II.    Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
      Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan itu. Asas ini tercantum didalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas dengan undang-undang no. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.

III. Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif
      Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasional pasif (asas perlindungan).

IV. Asas Universalitas
      Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.


BAB V
INTERPRESTASI
UNDANG-UNDANG PIDANA

A.    Pentingnya Interprestasi
Pentingnya interprestasi undang-undang pidana sehingga rumusan delik yang abstrak dapat diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkrit penafsiran yang paling sesuai dengan ini adalah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat.

B.     Penemuan Hukum Oleh Hakim Pidana
Khusus Indonesia, pasal 27 UU pokok kekuasaan kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hukum perdata dikenal beberapa jenis interprestasi yaitu :
a.       Interprestasi menurut tata bahasa
b.      Penafsiran historis
c.       Penafsiran sistematis
d.      Penafsiran sosiologis atau teleologis

C.    Jenis-jenis Interprestasi UU Pidana
1.      Interprestasi atau Penafsiran gramatika, artinya interprestasi ini didasarkan kepada kata-kata undang-undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain.
2.      Interprestasi Dogmatis ini didasarkan kepada secara umum suatu aturan pidana. Misalnya Arrest Hoge Raad 27 juni 1898 yang memutuskan agar semua orang melakukan.
3.      Interprestasi histories (Historia legis) Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat UU ketika diciptakan, jadi dapat dilihat pada Notulen rapat-rapat komisi di DPR.
4.      Interprestasi Teleologis penafsiran ini mengenai tujuan UU yaitu jika melampaui kata-kata UU.
5.      Interfrestasi Ekstensif, yaitu penafsiran luas hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan hubunganya dengan analogi. Misalnya penafsiran “barang” dilputi  aliran listrik, gas, data komputer. Dalam penafsiran otentik didalam buku I RUU KUHP telah dicantumkan hal ini.
6.      Intrefrestasi Rasional (Rationeele Interpretatie).
intreprestasi ini didasarkan kepada ratio atau akal, ini sering munpcul di dalam hukum perdata.
7.      Interprestasi Antisipasi  ini didasarkan UU baru yang bahkan belum berlaku. Sering dipakai dalam hukum perdata belanda berdasarkan BW.
8.      Interfrestasi Perbandingan hukum. Interfrestasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di pelbagi Negara.
9.      Interfrestasi Kreatif (Creatieve interpretatie) interfrestasi ini berlawanan dengan interfrestasi ekstensif, disini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.
10.  Interfrestasi Tradisionalistik, dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang jelas.
11.  Interfrestasi Harmonisasi, interfrestasi ini didasarkan kepada harmonni suatu peratura dengan peraturan yang lebih tinggi.
12.  Interfrestasi droktriner ini didasarkan kepada doktrin yang berdasarkan ilmu hukum pidana.
13.  Interfrestasi Sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu. Interfrestasi inilah yang mestinya sering dipeergunakan di Indonesia agar unifikasi hukum pidana dapat semua golongan etnik yang beraneka ragam.


 
Bab VI
Perbuatan dan Rumusan Delik

A.    Pengertian Delik
Hukum pidana belanda memakai istilah Strafbaar feit, kadang-kadang Delictum. Tetapi di dalam Negara Anglo-Sexson memakai istilah Offense yang artinya perbuatan pidana atau pristiwa pidana di Indonesia meakai juga istilah “Delik”

B.     Rumusan Delik
Simons merumuskan yang lengkap merupakan :
a.       Diancam dengan pidana oleh hukum,
b.      Bertentangan dengan hukum,
c.       Dilakukan oleh orang yang bersalah,
d.      Orang itu bertanggung jawab atas perbuatanya.

C.    Perbuatan dan Rumusan Delik dalam Undang-undang
Code penal memakai istilah infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan), Delits (Kejahatan ringan). Hukum pidana Inggris memakai istilah Act dan lawannya Omission. Menurut pendapat penulis,Act di baca “Tindakan” dan Omission di baca “Pengabaian”.

D.    Cara Merumuskan Delik
Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu delik. Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan,barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur delik.tetapi di sini, tidak dipakai istilah “Unsur Delik’’, misalnya delik pencurian terdiri dari bagian inti (Bestand delen):
I.       Mengambil
II.    Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
III. Dengan maksud memiliki
IV. Melawan hokum

Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena ada delik menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.

E.           Pembagian Delik
Delik itu dapat dibedekan atas pelbagai pembagaian tertentu, seperti berikut ini:
1.      Delik kejahatan dan Delik pelanggaran (Misdrijven en overtredingen).
2.      Delik Materiel dan delik Formel (Materiele en fomeledelichten).
3.      Delik Komisi dan Delik Omisi (Commissiedelicten en Omissiedelicten).
4.      Delik yang berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette delicten).
5.      Delik Selesai dan Delik Berlanjut (Aflopende en voortdurende delicten).
6.      Delik Tunggal dan delik berangkai (Enkelvoudige en gestelde delicten).
7.      Delik Bersahaja dan Delik Berkualifikasi (Eenvoudige en gequalificeerde delicten).
8.      Delik Sengaja dan Delik Kelalaian atau Culpa (Doleuse en culpose delicten).
9.      Delik Politik dan Delik Komun atau Umum (Politieke en commune delicten).
10.  Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti delik terhadap keamanan Negara, delik terhadap orang, delik kesusilan, delik terhadap harta benda dan lain-lain.
11.  Untuk Indonesia,menurut Kitab Undang-undang hukum acara pidana pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, subversi, dll.


 
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS
DAN MELAWAN HUKUM

A.    Sengaja
“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste)richting van den wil op een bepaald misdrijven, ( Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak. Menurut teori ini,maka “ kehendak” merupakan hakikat sengaja itu. Bantahan dari teori kehendak adalah teori Membayangkan teori dikemukakan oleh frank dlm tulisan Uber den Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki.

B.     Kelalaian ( Culpa)
Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis :
Kurang melihat ke depan yang perlu, kurang hati-hati
Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.

C.    Kesalahan dan Pertanggungjawban Pidana
Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti yang, yaitu:
  1. Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat
  2. Tidak adanya dasar peniadan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
  3. Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (Culpa).

D.    Melawan Hukum
Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara Formil.

E.     Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya demikian, maka unsure subsosialitas tidak ada.

F.     Taatbestandmassikeit dan Wesenchau
Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman ajaran ini diganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan delik yang dipandang sebagai delik.


 
BAB VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA

A.          Pengertian
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah pertama pengertian pebuatan (fiet) dan putusan yang telah tetap.
Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (Fiet):

1)      Perbuatan (fiet) terjadi kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2)      Perbuatan (fiet) perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Vos tidak dapat menerima pengertian perbuatan (fiet) dalam arti yang kedua ini.
3)      Perbuatan (fiet) perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.

B.     Pembagian Dasar Peniadaan Pidana
Yang tercantum didalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas rumusan delik. Yang khusus tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumumusan delik itu saja.

Rincian yang umum itu terdapat di dalam:
1.   Pasal 44  :    Tidak dapat dipertanggung jawabkan
2.   Pasal 48  :    Daya paksa
3.   Pasal 49  :    Ayat (1) pembelaan terpaksa
4.   Pasal 49  :    Ayat (2) pembelaan terpaksa yang meliampaui batas.
5.   Pasal 50  :    Menjalankan peraturan yang sah
6.   Pasal 51  :    Ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang
7.   Pasal 51  :    Ayat (2) menjalankan perintha jabatan yang tdak berwenang jika bawahan itu dengan itiket baik memenadang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.

C.    Dapat Dipertanggungjawabkan

Praktek di Indonesia mengikuti pengertian luas tersebut.
1.      Kemungkinan menetukan tingkah lakunya dengan kemauanya
2.      Mengerti tujuan nyata perbuatanya.
3.      Sadar bahwa perbuatannnn itu tidak diperkenakan oleh masyarakat>

 
D.    Daya Paksa
Daya paksa (Overmacht) tercantum di dalma pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan pebuatan karena dorongan keadan yang memaksa.

E.     Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-undang tersebut:
1.      Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2.      Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3.      Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4.      Serangan itu melawan hukum.

F.     Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas.
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas yaitu, kedua mensyarakatkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaanya ialah:
·         Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer exces), pembuat melamapaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,
·         Maka perbuatan itu tetep melawan hukum,hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
·         Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampui batas menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan terpaksa merupakan dasar pembenaran,karena melawan hukumnya tidak ada

G.    Menjalankan Ketentuan Undang-undang
Sebenarnya setiap perbuatan pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan undang-undang adalah sah dan tidak melawan hukum,asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan patut.

H.    Menjalankan Perintah jabatan
Pasal 51 KUHP menyatakan:
  1. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatanyang diberikan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
  2. Perintrah jabatan tanpa wewenag, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wwenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.

 
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG
SEBAB AKIBAT

A.    Pengertian
Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal inni disbut hubungan kasual yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.

B. Teori-teori Kausalitas
Demikian keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahanya yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkaiyang menimbulkan akibat.
Teori yang mengenealisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Teori adaquaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbamg, sepadan. jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
2.      Teori obyektif
Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor2 yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi.
3.      Teori adequaat dari Traeger
Menrutnya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh van Bemmelen bahwa yang disebut dengan ini adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.


 
Bab X
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN DAN
PELAKSANANAAN PIDANA

 
A.    Dasar Peniadaan Penuntutan
Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas:
I.             Tidak ada pengaduan pada delik aduan
II.          Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang saaaaama tercantum dalam Pasal 76 KUHP.
III.       Terdakwa meninggal dunia,tercantum dalam nPasal 77 KUHP
IV.       Lewat waktu,tercantum dalam Pasal 78 KUHP.
V.    Penyelsaian di luar pengadilan
VI. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (Undang-undang peradilan anak).
 
 
sumber:
 
 

No comments:

Post a Comment