Wednesday, 25 May 2016

RINGKASAN HUKUM ACARA PIDANA

Rangkuman Hukum Acara Pidana

Hubungan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Pidana
Hubungan hukum acara pidana dan hukum pidana ~ pasangan yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang erat bagai dua sisi mata uang. Keduanya saling melengkapi sehingga jika salah satu tidak ada, lainnya tidak akan berarti. Apabila hukum acara pidana tidak ada, hukum pidana tidak dapat dilaksanakan dan akan menjadi hukum yang mati karena tidak ada pedoman dan perangkat lainnya yang dapat melaksanakannya. Demikian pula hukum acara pidana tidak dapat berbuat banyak dan menjadi hukum yang tertidur. Jika tidak ada hukum pidana, berarti tidak ada orang yang melakukan perbuatan pidana, berarti tidak ada orang yang diproses oleh hukum acara pidana.
______________________
Asas-asas Hukum Acara Pidana :
  1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan  ~ asas yang menghendaki agar peradilan dilakukan dengan cepat, artinya dalam melaksanakan peradilan diharapkan dapat diselesaikan dengan sesegera mengkin dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sederhana mengandung pengertian bahwa dalam menyelenggarakan peradilan dilakukan dengan simple, singkat, dan tidak berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan peradilan ditekan sedemikian rupa agar terjangkau oleh pencari keadilan, menghindari pemborosan, dan tindakan bermewah-mewahan yang hanya dapat dinikmati oleh yang beruang saja.
  2. Praduga tak bersalah (presumtion of innocence) ~ Adalah asas yang menyatakan, bahwa seorang (terdakwa) berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Penjelasan Umum KUHAP angka 3 huruf c).
  3. Perlakuan yang sama didepan hukum (Equality before the law) ~ asas yang menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum. Kerena itu, setiap orang harus diperlakukan sama, memperoleh hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada pilih kasih atau tidak pandang bulu, satu sama lain mendapat perlakuan yang sama.
  4. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU ~ setiap sidang yang dilaksanakan harus dapat disaksikan oleh umum. Pengunjung bebas melihat dan mendengar langsung jalannya persidangan, tidak ada larangan menghadiri persidangan sepanjang tidak menganggu jalannya persidangan itu.
  5. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian) ~ Asas legalitas adalah asas yang menghendaki bahwa penuntut umum wajib menuntut semua perkara pidana yang terjadi tanpa memandang siapa dan bagaimana keadaan pelakunya ke muka siding pengadilan. Asas opportunitas adalah memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang atau suatu badan yang telah melakukan tindak pidana demi kepentingan umum.
  6. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan.
  7. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek) 
  8. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum
  9. Pengadilan yang adil dan tidak memihak (Fair Trial)
  10. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap
  11. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dengan perintah tertulis
  12. Ganti rugi dan rehabilitasi
  13. Persidangan dengan hadirnya terdakwa
________________________
Fungsi dan wewenang penyelidik dan penyidik
A.  Penyelidik
Penyelidik ~ setiap pejabat polisi negara RI
Fungsi - Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan kepada penyidik.
Wewenang:
Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
  2. Mencari keterangan dan barang bukti.
  3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
  4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
  1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
  2. Pemeriksaan dan penyitaan surat.
  3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
  4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

B. Penyidik
Penyidik ~ pejabat POLRI dan pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.
Fungsi - mencari serta mengumpulkan bukti,  degan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, menemukan tersangka.
Wewenang:
  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
  4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
  5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
  6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
  8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
  9. Mengadakan penghentian penyidikan.
  10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang  bertanggung jawab.
__________________________
Laporan Dan Pengaduan Tindak Pidana
A. Laporan
Laporan ~ Pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajibannya berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana
Hak menyampikan laporan ~ Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau korban peristiwa/tindak pidana.
Kewajiban menyampaikan laporan :
  • Setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentuan umum/jiwa/hak milik
  • Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui terjadinya tindak pidana
Cara mengajukan laporan :
  • Lisan
  • Tertulis
B. Pengaduan
Pengaduan ~ Pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan.
Tindak Pidana aduan :
  1. Tindak Pidana Aduan Absolut = Murni Tindak Pidana, Contoh : Pencemaran nama baik
  2. Tindak Pidana Aduan Relatif = Biasa Tindak Pidana, Contoh : Pencurian dilingkungan keluarga
C. Perbedaan Laporan Dan Pengaduan
5 (lima) perbedaan laporan dan pengaduan adalah :
1. Isinya
Laporan             : Pemberitahuan telah/ sedang/ akan terjadinya tindak pidana.
Pengaduan       : Pemberitahuan disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum.
2. Jenis tindak pidana
Laporan             : Semua jenis tindak pidana.
Pengaduan       : Hanya yang tergolong tindak pidana aduan
3. Waktu mengajukan
Laporan             : Sembarang waktu
Pengaduan       : Tenggang waktunya ditentukan.
4. Yang berhak mengajukan
Laporan             : Setiap orang.
Pengaduan       : Orang-orang tertentu.
5. Proses tindakannya
Laporan             : Tidak dapat dicabut kembali, prosesnya menjadi  wewenang pihak berwajib.
Pengaduan       : Dapat dicabut kembali, prosesnya dilanjutkan/ tidak diserahkan kepada pengadu.
________________________
Penahanan
Penahanan ~ penempatan tersangka/terdakwa ditempat tertentu menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penahanan dapat dilakukan pada setiap tingkatan – penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan pengadilan.
Syarat-syarat seseorang  tersangka/terdakwa dapat dilakukan penahanan (Pasal 21 ayat 4 KUHAP) :
  1. Penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dengan kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
  2. Tindak pidana yang dilakukan ialah diancam dengan pidana penjara lima tahun/lebih, meskipun diancam pidana kurang dari lima tahun tetapi yang ditentukan dalam Pasal 282 (3), 296, 335 (1), 351 (1), 372, 378, 379a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 509 KUHAP.
Penyelidik - tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penahanaan karena pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanaan yaitu, penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim. Sedangkan penyelidik hanya diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

Jenis-jenis penahanaan:
  1. Penahanan rumah, yaitu penahanaan yang dilakukan di rumah tempat tinggal ataau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan diadakan pengawasan terhadapanya  untuk menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 22 ayat 2 KUHAP).
  2. Penahanaan kota, yaitu penahanaan yang dilakukan di kota tempat tinggal atau tempat- tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa untuk melaporkan diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 ayat 3 KUHAP).
  3. Penahanan rumah tahanan negara (RUTAN), yaitu diatur di dalam Peraturan Pemerintah RI No.27 Tahun 1983.
Hubungan antara putusan pidana yang dijatuhkan dengan masa tahanan yang sudah dijalani :
Hubungan antara putusan pidana yang dijatuhkan dengan masa tahanan yang dijalani adalah dimana masa tahanan yang telah dijalani nantinya akan dikurangkan seluruhnya dari hukuman pidana yang dijatuhkan (Pasal 22 ayat (4) KUHAP).
Menurut ayat (5) dari passal diatas, bahwa untuk penahanan kota pengurangannya 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan, sedangkan untuk penahanan rumah  pengurangannya menjadi 1/3 dari jumlah lamanya waktu penahanan rumah.
_______________________
Acara Pemeriksaan Dalam Sidang Pengadilan Perkara Pidana
Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga acara pemeriksaan perkara, yaitu:
  • Acara pemeriksaan biasa.
  • Acara pemeriksaan singkat.
  • Acara pemeriksaan cepat.

Perbedaan acara pemeriksaan biasa, singkat dan cepat:
Sifat/ jenis perkara.
  • Acara Pemeriksaan Biasa ~ Pembuktian dan penerapan hukumannya biasa. Sifatnya tidak sederhana.
  • Acara Pemeriksaan Singkat ~ Pembuktian dan penerapan hukumannya mudah. Sifatnya sederhana.
  • Acara Pemeriksaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan seperti ancaman pidana max 3bulan/ denda Rp 7500. Penghinaan ringan; dan untuk pelanggaran lalu lintas seperti pelanggaran lalu lintas jalan raya
Cara mengajukan.
  • Acara Pemeriksaan Biasa ~ Surat pelimpahan. Surat dakwaan dibuat JPU.
  • Acara Pemeriksaan Singkat ~ Pemberitahuan lisan oleh JPU tentang dakwaannya.
  • Acara Pemeringsaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan penyidik atas kuasa JPU langsung kirim ke pengadilan dan untuk Pelanggaran lalu lintas penyidik langsung kirimkan catatan pelanggaran ke pengadilan.
Putusan Hakim.
  • Acara Pemeriksaan Biasa ~ dibuat tersendiri menurut ketentuan, dan diucapkan dengan hadirnya terdakwa.
  • Acara Pemeriksaan Singkat ~ tidak dibuat secara khusus, hanya dicatat dalam berita acara sidang, dan diucapkan dengan hadirnya terdakwa.
  • Acara Pemeriksaan Cepat ~ untuk tindak pidana ringan tidak dibuat khusus, dicatat dalam daftar perkara, dan diucapkan didepan terdakwa dan untuk pelanggaran lalu lintas tidak dibuat khusus, dicatat dalam daftar perkara, dan dapat diluar hadirnya terdakwa.

Makna peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan menurut ~ dalam melaksanakan peradilan hendaknya proses penyelesaian perkara ditanggani dengan cepat, tidak membuang-buang waktu kalau bisa sesegera mungkin, dan dalam penyelenggaraan peradilan hendaknya dilakukan dengan sederhana, singkat tidak berbelit-belit, karena kalau dibiarkan berlarut-larut akan terjadi pemborosan biaya dan itu menyebabkan kesulitan bagi pihak pencari keadilan yang kurang mampu, maka makna biaya ringan adalah penekanan biaya sedemikian rupa untuk dimanfaatkan semaksimal dan seefektif mungkin.
______________________
Surat Dakwaan
Surat dakwaan ~ suatu surat/akta yang memuat suatu perumusan tindak pidana yang didakwakan yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan.

Fungsi dan manfaat surat dakwaan :
  1. Bagi Pengadilan/Hakim, surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi  ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan.
  2. Bagi Penuntut Umum, surat dakwaan merupakan dasar pembuktian analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum.
  3. Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.
Surat dakwaan harus memuat mengenai tempat tindak pidanan yang dilakukan (locus delicti) dan waktu pidanan dilakukan (tempat delicti) guna mengungkapkan tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana untuk memberikan keyakinan tentang terjadinya suatu tindak pidana dan untuk dapat dijadikan ukuran jika adanya alibi atau dalih pengingkaran dari pelaku.

Macam-macam surat dakwaan, yaitu:
1. Dakwaan tunggal ~ dakwaan yang ditujukan kepada seorang terdakwa/ lebih yang didakwa melakukan perbuatan yang termasuk dalam perumusan satu delik/satu perbuatan saja.
Contoh: didakwa melakukan pemerkosaan (Ps.285 KUHP).
2. Dakwaan alternatif ~ apabila beberapa tindak pidana yang didakwakan di dalam surat dakwaan secara alternatif dapat menghasilkan kualifikasi-kualifikasi yang berbeda.
Contoh:
  • Primair                           : Pencurian           (362 KUHP)
  • Subsidair                       : Pengelapan        (372 KUHP)
  • Lebih subsidair            : Penipuan            (378 KUHP)
  • Dst……
3. Dakwaan subsidair ~ surat dakwaan ini pertama-tama menguraikan suatu tindak pidana yang ancaman pidana yang lebih ringan dengan tujuan menjaga kemungkinan tidak terbuktinya dakwaan pertama dalam bagian primair.
Contoh:
  • Primair           = 348 KUHP = 5th 6 bln
  • Subsidair       = 299 KUHP = 4th
4. Dakwaan kumulatif. ~ dakwaan terhadap terdakwa karena melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada  hubungannya satu sama lain/ beberapa perbuatan yang berdiri sendiri.
Contoh:
  • Pertama        : Pencurian           (362 KUHP)
  • Kedua            : Penipuan            (378 KUHP)
  • Ketiga            : Pemerasan         (368 KUHP)
  • Keempat       : Pembunuhan (338 KUHP) 
_________________________
Exceptie
Exceptie/eksepsi (nota keberatan) ~ bantahan/sanggahan berkenaan di luar pokok perkara yang dipersoalkan oleh Pemohon/Penggugat di pengadilan.
_______________
Pembuktian
Pembuktian ~ suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.
Alat-alat bukti yang sah, yaitu:
  • Keterangan saksi ~ salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Ps.1 butir 27 KUHAP).
  • Keterangan ahli ~ keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Ps.1 butir 28 KUHAP).
  • Alat bukti surat ~ Menurut Ps.187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah adalah yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah.
  • Alat bukti petunjuk ~ perbuatan, kejadian, atau keadaan yang mempunyai persuaian antara yang satu dan yang lain atau dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan dengan adanya suatu tindak pidana dan seorang pelakunya (Ps. 188 ayat (2) UU No.8 Tahun 1981 ttg Hukum Acara Pidana).
  • Alat bukti keterangan terdakwa ~ apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Ps. 189 ayat (1) KUHAP).
______________
Requisitoir
Requisitoir (surat tuntutan pidana) ~ suatu pembuktian tentang terbukti atau tidaknya surat dakwaan.
________________
Fleidooi
Fleidoi(nota pembelaan) ~ upaya terakhir dari terdakwa atau pembela terdakwa dalam mempertahankan hak-hak hukum yang dimilikinya, sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan dalam sebuah perkara pidana. Nota pembelaan ini bisa dibuat dan disampaikan secara mandiri oleh terdakwa atau diwakilkan kepada penasihat hukumnya.
_________________
Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan ~ peryataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam uu hukum acara pidana.
Putusan Pengadialan

Macam-macam isi putusan pengadilan (Ps. 191 KUHAP) yaitu:
  1. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum.~ putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
  2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.~ putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana.
  3. Putusan yang mengandung pemidanaan.~ putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan menyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.
__________________
Upaya Hukum
Upaya hukum ~ hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak pidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam uu.

A. Upaya hukum biasa
  • banding ~ hak terdakwa atau penuntut umum untuk “menolak putusan” pengadilan dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi, serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum dari putusan pengadilan tingkat pertama. Memori banding bukan merupakan kewajiban/keharusan bagi pemohon banding untuk membuatnya, karena hanya berupa hak semata, jika tidak disertakan dalam permohonan tidak akan berakibat ditolaknya permohonan banding.
  • kasasi ~ hak yang diberikan kepada terdakwa dan penuntut umum untuk meminta kepada MA agar dilakukan pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada pengadilan tingkat bawahnya. Memori kasasi bagi pemohon wajib mengajukan atau menyampaikan memori kasasi, tidak memenuhi kasasi ditolak.

B. Upaya Hukum Luar Biasa
  • kasasi demi kepentingan hukum ~ salah satu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari putusan pengadilan selain putusan MA.
  • Peninjauan kemali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ~ suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi. Alasan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali untuk mendapatkan suatu kepastian hukum guna memberikan kesempatan kepada para pihak dalam suatu perkara untuk mengajukan permohonan agar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat diperbaiki.
__________________
Praperadilan
Contoh alasan permohonan permintaan praperadilan :
  • Pemanggilan tidak sah.
  • Tidak benar tembusan surat perintah penahanan telah diterimakan kepada keluarganya.

Yang berhak memohonkan permintaan praperadilan :
  • Tersangka, keluarganya, atau kuasa hukumnya.
  • Penyidik atau penuntut umum.
  • Pihak ketiga yang berkepentingan
 
SUMBER:
 
 
Salam
Adv. Aslam Fetra Hasan S.H.,C.L.A
HP/WA: 081905057198
BBM: 227D528D
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Blog: hukumacara1.blogspot.co.id
 

PERIHAL PENAHANAN-KETENTUAN HUKUM

PERIHAL PENAHANAN
 
Ketentuan Hukum
a.Pasal 1 butir 21 KUHAP merupakan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan penahanan.
 
''Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini''
 
 
b. Pasal 7 ayat (1) huruf d Pasal 11 dan Pasal 20 KUHAP mengatur tentang wewenang Penyidik/Penyidik Pembantu dalam hal penahanan (penyidik Pembantu atas perintah Penyidik).
 
Pasal 7 ayat (1) huruf d
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
 
 Pasal 11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
 
 Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
 
Pasal 21 KUHAP mengatur alasan dan syarat-syarat untuk dapat melakukan penahanan
 
1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
 
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.              
 
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.              
 
(4)Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
 
a.tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b.tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).
 
 
Pasal 22 dan 23 KUHAP mengatur tentang jenis penahanan dan pengalihan jenis penahanan.
 
Pasal 22

(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a.penahanan rumah tahanan negara;
b.penahanan rumah;
c.penahanan kota.
 
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
 
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediamati tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor din pada waktu yang ditentukan.
 
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dan pidana yang dijatuhkan.              
 
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima darijumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah Iamanya waktu penahanan.

 
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang benkepentingan.
 
Pasal 24 KUHAP mengatur tentang jangka waktu penahanan dan alasan perpanjangan penahanan
 
1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
 
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperIukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
 (3) Ketentuan sebagamana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dan tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
 
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dan tahanan demi hukum.
 
Pasal 29 KUHAP mengatur tentang pengecualian waktu penahanan pada setiap tingkat pemeriksaan yang diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri,Ketua Pengadilan Tinggi,Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Agung
 
 
1) Dikecualikan dan jangka waktu penahanan sebagahnana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih. 
             
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
 
(3) Perpanjangan penahanan tersebut átas dasar permintaan dan Iaporan pemeriksaan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oIeh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
 
(4)Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tauggung jawab.
 
(5)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
 
(6)Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
 
(7)Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a.penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b.pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung
 
Pasal 31 KUHAP mengatur tentang penangguhan penahanan.
 
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
 
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
 
Pasal 123 KUHAP mengatur tentang keberatan penahanan yang dilakukan oleh penyidik.
 
 
I) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
 
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
 
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
 
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu.
 
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat
 
 
Pasal 124 KUHAP mengatur tentang sah atau tidak sah menurut hukum,tersangka,keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang undang
 
Pasal 14 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
 
Pasal 14 ayat (1) huruf g

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas :
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya
 
Pasal 16 ayat (1) huruf a
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
 
Pasal 18

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 
sumber:
KUHAP
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
 
 
Salam
Adv. Aslam Fetra Hasan S.H.,C.L.A
HP/WA: 081905057198
BBM: 227D528D
Email: a.f.hasanlawoffice@gmail.com
Blog: hukumacara1.blogspot.co.id
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

Tuesday, 24 May 2016

RANGKUMAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA BAB 1 S/D 10 : Dr. ANDI HAMZAH, S.H

BAB I
PENDAHULUAN


  1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana materiel yang berarti isi atau substansi hukum pidana itu. Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. Hukum pidana formil atau hukum acara pidana bersifat nyata dan konkrit.Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak,atau dijalankan atau berada dalam suatu proses.Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.
Van Bemmelen merumuskan sebagai berikut:

Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara,karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.

            Nyatalah bahwa hukum pidana (Materiel) sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata”karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
            Moeljatno, seorang ahli sarjana hukum pidana Indonesia bahwa hukum pidana Formil adalah hukumpidana sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1.      Mentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilarang atau di lakukan dengan tidak di sertai larangan atau sanksi bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.      Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa pada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana.
3.      Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

  1. Tempat dan Sifat Hukum Pidana
Adagium bahasa jerman,”Wo Kein Klager Ist,Ist Kein Richter,adalah jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim. Munculah pengertian Hukum publik termasuk hukum pidana yang utama ialah kepentingan umum, bukanlah orang yang bertindak jika terjadi pelanggaran hukum tetapi negara melalui alat-alatnyya.yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana atau tindakan. Hukum pidana Formil (Hukum acara pidana) corak hukum publiknya lebih nyata lagi dari pada hukum pidana materil karena yang bertindak menyidik dan menuntut adalah alat negara seperit Polisi atau jaksa jika terjadi pelanggaran hukum pidana.
Menrut Mackay tentang Asas Pokok pidana adalah : yang dapat dipidana hanya pertama, orang yang melanggar hukum, ini adalah syarat mutlak (Condotio sine quanon), kedua bahwa perbuatan itu melanggar hukum ancaman pidana yang berupa Ultimum remedium setiap orang yang berpikir sehat akan dapat mengerti hal tersebut tidak berarti bahwa ancaman pidana tidak diadakan dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan terlalu jahat dari pada penyakit

  1. Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus
Hukum pidana dapat dibagi atas hukum pidana di kodefikasikan dan yang tidak di kodefikasikan, artinya yang dimuat dalam kitab Undang-undang, sedangkan yang tidak dikodefikasikan, yaitu yang tersebar diluar kodifikasikan dalam perundang-undangan
Tersendiri.


BAB II
SEJARAH SINGKAT
HUKUM PIDANA DI INDONESIA


A.    Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh VOC. Pada tahun 1848 dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
  1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari 1867. kemudian dengan Ordonasi tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asing.
  2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl.1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 januari 1873.

B.     Zaman Hindia Belanda
Setelah berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaanya dengan Code Penal Perancis, perlu diganti dan disesuaiakan dengan KUHP baru belanda tersebut. Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische Staatsgeling. Maka KUHP di negeri belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda harus dengan penyusaian pada situasi dan kondisi setempat. Semula di rencanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru. Dengan Koninklijik Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732 lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh golongann penduduk. Dengan Invoringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.

C.    Zaman Pendudukan Jepang
Dibandingkan dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 sepetember 1942.

D.    Zaman Kermedekaan
Ditentukandi dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 terse3but bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan perbagai perubahan dan penambahan yang diseuakan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut kitab Undang-undanhg Hukum Pidana (KUHP).


BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA

A.    Pengertian
Istilah Hukuman Pidana dalam bahasa Belanda sering disebut yaitu Straf. Hukuman adalah istilah umumuntuk segala macam sanksi baik perdata, adminstratif, disiplin dan pidana.
Sedangkan dalam arti sempit pidana diartikan sebagai Hukum pidana.

B.     Tujuan Pidana
Dalam Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang  tujuan penjatuhan pidana, yaitu:
1.      Mencegah dilakukannya tindak pidana menegakan norma hukum demi pengayoman masyrakat.
2.      Mengadakan koerksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3.      Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Pasal 5).

Dalam literatur bahasa inggris tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a)      Reformation berarti memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyrakat.
b)      Restraint maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat, dengan tersingkirnya pelanggaran hukum dari masyrakat berarti masyrakat itu akan menjadi lebih aman.
c)      Restribution adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.
d)     Deterrence, adalah menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.


 
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

A.    ASAS LEGALITAS
Asas ini tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin: ”Nullum Delictum nulla poena sine legipoenali” yang artinya. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentua pidana yang mendahuluinya.
Ada kesimpulan dari rumus tersebut:

1)      Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabdian tersebut harusdtercantum didalam undang-undang.
2)      Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum didalam pasal 1ayat 2 KUHP.

B.     Penerapan Anologi
Utrecht menarik garis pemisah antara imterprestasi eksetensi dan penerapan analogi sebagai berikut:

I.       Interfrestasi         :     Menjalankan undang-undangan setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
      Anologi                :     Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undanag.
II.    Interfrestasi         :     Menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
      Anologi                :     Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelsaikan suatu perkara yang tidak disingung oleh kaidah,tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.

C.    Hukum Transitoir  (Peralihan)
Yang menjadi masalah dalam hal ini.adalahketentuan perundang-undangan yang mana apakah ketentuan hukum pidana saja ataukah ketentuan hukum yang lain, masih dipermasalahkan oleh para pakar sarjana hukum pidana.Menurut Memorie van Toelichting (Memori penjelasan) WvSN (yang dapat dipakai oleh KUHP), perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan hukum material yang secara hukum pidana “Mempengaruhi penilaian perbuatan”.

D.    Berlakunya Hukum Pidana Menurut Ruang Tempat dan Orang

I.       Asas Teritorialitas atau Wilayah
      Asas wilayah atau teritorialitas ini tercantum didalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi : “peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tiap-tiap orang yang di dalam nilai Indonesia melakukan delik (straftbaar feit) disini berarti bahwa orang yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di Indonesia tetapi deliknya straftbaar feit terjadi di wilayah Indonesia


 
II.    Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
      Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan itu. Asas ini tercantum didalam pasal 4 ayat 1, 2 dan 4 KUHP. Kemudian asas ini diperluas dengan undang-undang no. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang no. 7 (drt) tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi.

III. Asas Personalitas atau Asas Nasional Aktif
      Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP, asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasional pasif (asas perlindungan).

IV. Asas Universalitas
      Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia) disini kekuasaan kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili terdakwa.


BAB V
INTERPRESTASI
UNDANG-UNDANG PIDANA

A.    Pentingnya Interprestasi
Pentingnya interprestasi undang-undang pidana sehingga rumusan delik yang abstrak dapat diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkrit penafsiran yang paling sesuai dengan ini adalah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat.

B.     Penemuan Hukum Oleh Hakim Pidana
Khusus Indonesia, pasal 27 UU pokok kekuasaan kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hukum perdata dikenal beberapa jenis interprestasi yaitu :
a.       Interprestasi menurut tata bahasa
b.      Penafsiran historis
c.       Penafsiran sistematis
d.      Penafsiran sosiologis atau teleologis

C.    Jenis-jenis Interprestasi UU Pidana
1.      Interprestasi atau Penafsiran gramatika, artinya interprestasi ini didasarkan kepada kata-kata undang-undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain.
2.      Interprestasi Dogmatis ini didasarkan kepada secara umum suatu aturan pidana. Misalnya Arrest Hoge Raad 27 juni 1898 yang memutuskan agar semua orang melakukan.
3.      Interprestasi histories (Historia legis) Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat UU ketika diciptakan, jadi dapat dilihat pada Notulen rapat-rapat komisi di DPR.
4.      Interprestasi Teleologis penafsiran ini mengenai tujuan UU yaitu jika melampaui kata-kata UU.
5.      Interfrestasi Ekstensif, yaitu penafsiran luas hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan hubunganya dengan analogi. Misalnya penafsiran “barang” dilputi  aliran listrik, gas, data komputer. Dalam penafsiran otentik didalam buku I RUU KUHP telah dicantumkan hal ini.
6.      Intrefrestasi Rasional (Rationeele Interpretatie).
intreprestasi ini didasarkan kepada ratio atau akal, ini sering munpcul di dalam hukum perdata.
7.      Interprestasi Antisipasi  ini didasarkan UU baru yang bahkan belum berlaku. Sering dipakai dalam hukum perdata belanda berdasarkan BW.
8.      Interfrestasi Perbandingan hukum. Interfrestasi ini didasarkan kepada perbandingan hokum yang berlaku di pelbagi Negara.
9.      Interfrestasi Kreatif (Creatieve interpretatie) interfrestasi ini berlawanan dengan interfrestasi ekstensif, disini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.
10.  Interfrestasi Tradisionalistik, dalam hokum pun ada tradisi yang kadang-kadang jelas.
11.  Interfrestasi Harmonisasi, interfrestasi ini didasarkan kepada harmonni suatu peratura dengan peraturan yang lebih tinggi.
12.  Interfrestasi droktriner ini didasarkan kepada doktrin yang berdasarkan ilmu hukum pidana.
13.  Interfrestasi Sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu. Interfrestasi inilah yang mestinya sering dipeergunakan di Indonesia agar unifikasi hukum pidana dapat semua golongan etnik yang beraneka ragam.


 
Bab VI
Perbuatan dan Rumusan Delik

A.    Pengertian Delik
Hukum pidana belanda memakai istilah Strafbaar feit, kadang-kadang Delictum. Tetapi di dalam Negara Anglo-Sexson memakai istilah Offense yang artinya perbuatan pidana atau pristiwa pidana di Indonesia meakai juga istilah “Delik”

B.     Rumusan Delik
Simons merumuskan yang lengkap merupakan :
a.       Diancam dengan pidana oleh hukum,
b.      Bertentangan dengan hukum,
c.       Dilakukan oleh orang yang bersalah,
d.      Orang itu bertanggung jawab atas perbuatanya.

C.    Perbuatan dan Rumusan Delik dalam Undang-undang
Code penal memakai istilah infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan), Delits (Kejahatan ringan). Hukum pidana Inggris memakai istilah Act dan lawannya Omission. Menurut pendapat penulis,Act di baca “Tindakan” dan Omission di baca “Pengabaian”.

D.    Cara Merumuskan Delik
Pada umumnya rumusan suatu delik berisi “Bagian Inti” (Bestand delen) suatu delik. Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbutan yang dilakukan,barulah seseorang diancam dengan pidana.banyak penulis menyebut ini sebagai unsur delik.tetapi di sini, tidak dipakai istilah “Unsur Delik’’, misalnya delik pencurian terdiri dari bagian inti (Bestand delen):
I.       Mengambil
II.    Barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain
III. Dengan maksud memiliki
IV. Melawan hokum

Didalam rumusan ini terdapat bagian inti “sengaja’’, karena ada delik menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan kealpaan (Culpa), yaitu pasal 359 dan 361 KUHP.

E.           Pembagian Delik
Delik itu dapat dibedekan atas pelbagai pembagaian tertentu, seperti berikut ini:
1.      Delik kejahatan dan Delik pelanggaran (Misdrijven en overtredingen).
2.      Delik Materiel dan delik Formel (Materiele en fomeledelichten).
3.      Delik Komisi dan Delik Omisi (Commissiedelicten en Omissiedelicten).
4.      Delik yang berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette delicten).
5.      Delik Selesai dan Delik Berlanjut (Aflopende en voortdurende delicten).
6.      Delik Tunggal dan delik berangkai (Enkelvoudige en gestelde delicten).
7.      Delik Bersahaja dan Delik Berkualifikasi (Eenvoudige en gequalificeerde delicten).
8.      Delik Sengaja dan Delik Kelalaian atau Culpa (Doleuse en culpose delicten).
9.      Delik Politik dan Delik Komun atau Umum (Politieke en commune delicten).
10.  Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi, seperti delik terhadap keamanan Negara, delik terhadap orang, delik kesusilan, delik terhadap harta benda dan lain-lain.
11.  Untuk Indonesia,menurut Kitab Undang-undang hukum acara pidana pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, subversi, dll.


 
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS
DAN MELAWAN HUKUM

A.    Sengaja
“Sengaja” (opzet) berarti De (Bewuste)richting van den wil op een bepaald misdrijven, ( Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori kehendak. Menurut teori ini,maka “ kehendak” merupakan hakikat sengaja itu. Bantahan dari teori kehendak adalah teori Membayangkan teori dikemukakan oleh frank dlm tulisan Uber den Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat dikehendaki.

B.     Kelalaian ( Culpa)
Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis :
Kurang melihat ke depan yang perlu, kurang hati-hati
Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di Negara Anglo-Sexson. Disebut dalam pembunuhan pada pasal 359 KUHP.

C.    Kesalahan dan Pertanggungjawban Pidana
Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti yang, yaitu:
  1. Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat
  2. Tidak adanya dasar peniadan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
  3. Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (Culpa).

D.    Melawan Hukum
Melawan hukum Formil diartikan bertentangan dengan Undang-undang apabila suatu perbutan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara Formil.

E.     Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya demikian, maka unsure subsosialitas tidak ada.

F.     Taatbestandmassikeit dan Wesenchau
Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman ajaran ini diganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan suatu delik. Perbuatan pada dasarnya “Pada hakikatnya” merupakan delik sesuai dengan rumusan delik yang dipandang sebagai delik.


 
BAB VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA

A.          Pengertian
Dua hal yang perlu dijelaskan disini ialah pertama pengertian pebuatan (fiet) dan putusan yang telah tetap.
Van Hamel menunjukan tiga pengertian perbuatan (Fiet):

1)      Perbuatan (fiet) terjadi kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2)      Perbuatan (fiet) perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Vos tidak dapat menerima pengertian perbuatan (fiet) dalam arti yang kedua ini.
3)      Perbuatan (fiet) perbuatan materil, jadi perbuatan itu terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.

B.     Pembagian Dasar Peniadaan Pidana
Yang tercantum didalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum (terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP) dan berlaku atas rumusan delik. Yang khusus tercantum di dalam pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumumusan delik itu saja.

Rincian yang umum itu terdapat di dalam:
1.   Pasal 44  :    Tidak dapat dipertanggung jawabkan
2.   Pasal 48  :    Daya paksa
3.   Pasal 49  :    Ayat (1) pembelaan terpaksa
4.   Pasal 49  :    Ayat (2) pembelaan terpaksa yang meliampaui batas.
5.   Pasal 50  :    Menjalankan peraturan yang sah
6.   Pasal 51  :    Ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang
7.   Pasal 51  :    Ayat (2) menjalankan perintha jabatan yang tdak berwenang jika bawahan itu dengan itiket baik memenadang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.

C.    Dapat Dipertanggungjawabkan

Praktek di Indonesia mengikuti pengertian luas tersebut.
1.      Kemungkinan menetukan tingkah lakunya dengan kemauanya
2.      Mengerti tujuan nyata perbuatanya.
3.      Sadar bahwa perbuatannnn itu tidak diperkenakan oleh masyarakat>

 
D.    Daya Paksa
Daya paksa (Overmacht) tercantum di dalma pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan pebuatan karena dorongan keadan yang memaksa.

E.     Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-undang tersebut:
1.      Pembelaan itu bersifat terpaksa.
2.      Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilan, atau harta benda sendiri atau orang lain.
3.      Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4.      Serangan itu melawan hukum.

F.     Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas.
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas yaitu, kedua mensyarakatkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaanya ialah:
·         Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer exces), pembuat melamapaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,
·         Maka perbuatan itu tetep melawan hukum,hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.
·         Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampui batas menjadi dasar pemaaf, sedangkan pembelaan terpaksa merupakan dasar pembenaran,karena melawan hukumnya tidak ada

G.    Menjalankan Ketentuan Undang-undang
Sebenarnya setiap perbuatan pemerintah melalui alat-alatnya dalam menjalankan ketentuan undang-undang adalah sah dan tidak melawan hukum,asalkan dilakukan dengan sebenarnya dan patut.

H.    Menjalankan Perintah jabatan
Pasal 51 KUHP menyatakan:
  1. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatanyang diberikan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
  2. Perintrah jabatan tanpa wewenag, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wwenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.

 
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG
SEBAB AKIBAT

A.    Pengertian
Setiap peristiwa sosial menimbulkan satu atau beberapa peristiwa sosial yang lain, demikian seterusnya yang satu mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat. Hal inni disbut hubungan kasual yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.

B. Teori-teori Kausalitas
Demikian keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai permasalahanya yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkaiyang menimbulkan akibat.
Teori yang mengenealisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Teori adaquaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbamg, sepadan. jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
2.      Teori obyektif
Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor2 yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi.
3.      Teori adequaat dari Traeger
Menrutnya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh van Bemmelen bahwa yang disebut dengan ini adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.


 
Bab X
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN DAN
PELAKSANANAAN PIDANA

 
A.    Dasar Peniadaan Penuntutan
Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas:
I.             Tidak ada pengaduan pada delik aduan
II.          Tidak dua kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang saaaaama tercantum dalam Pasal 76 KUHP.
III.       Terdakwa meninggal dunia,tercantum dalam nPasal 77 KUHP
IV.       Lewat waktu,tercantum dalam Pasal 78 KUHP.
V.    Penyelsaian di luar pengadilan
VI. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun (Undang-undang peradilan anak).
 
 
sumber: